Makna Minal Aidin Wal Faizin - Taqabbalallahu Minna
Friday, February 2, 2018
Edit
Apa yang kita fahami dari kata “minal aidin wal faizin”? Pastilah kita fahami bahwa ungkapan itu yaitu mohon maf lahir dan batin. Saya kita pemahaman ini sangat umum terjadi bagi banyak orang Indonesia, mulai dari para pembesar dan terpelajar pintar di tingkat nasional hingga dengan tokoh masyarakat dan orang-orang terpelajar di tingkat RT/RW. Oleh sebab itu, ungkapan yang banyak diucapkan dalam bulan bulan pahala yaitu ”Selamat Idul Fitri”, kemudian dilanjutkan dengan ”minal aidin wal faizin” dan kemudian seperti dibahasaindonesiakan menjadi ”mohon maaf lahir batin”.
Orang yang cerdas ialah orang yang takwa. Orang yang dungu ialah orang yang durhaka. Orang yang dusta ialah orang yang khianat. Orang yang benar ialah orang yang dipercaya (Khalifah Abu Bakar RA)
Salah satu nilai tertinggi ibadah puasa ialah pembebasan insan dari ketergantungan dunia materi
(Abdul Munir Mulkan).
Kapankah kebiasaan tersebut dimulai di negeri ini? Wallahu alam bishawab. Mungkin saja sudah puluhan, atau bahkan ratusan tahun ungkapan dan ucapan menyerupai itu menjadi tradisi turun temurun dalam kehidupan. Tanpa kita. Ungkapan ini telah menjadi samacam tradisi tanpa kritisi atau bahkan menjadi akhlak tanpa ada debat. Hal ini terjadi sebab Bahasa Arab belum menjadi bahasa kedua di negeri ini. Paling tidak untuk pemeluk Islam. Pemahaman kita terhadap Bahasa Arab yaitu pemahaman taklid atau menggandakan buta, tanpa pemahaman yang rasional. Bukankah pendekatan agama kita konon berawal dari percaya terlebih dahulu, bukan dari ketidakpercayaan sebagaimana pendekatan ilmu pengetahuan. Tulisan ini mencoba akan merekam perjalanan pemahaman kita wacana ucapan “minal aidin wal faizin” hingga dengan “taqabalallahu minna wa minkum”.
Minal aidin wal faizin
Ungkapan ini bahu-membahu hanya berupa sebuah frase atau kepingan dari sebuah kalimat yang lebih panjang. Jadi, bukan kalimat yang lengkap SPO-nya atau subyek/predikat/obyeknya. Secara lengkap, kalimatnya yaitu ”Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin” yang artinya “semoga Allah menyebabkan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Jadi, minal aidin wal faizin sendiri berarti dari orang-orang yang kembali dan beruntung. Dengan demikian, frase itu minal aidin wal faizin tidak mempunyai makna sama sekali dengan ungkapan undangan maaf atau pun bermaaf-maafan. Bahkan dalam Bahasa Indonesia ungkapan “bermaaf-maafan” malah dinilai terlalu berlebih-lebihan atau mubazir, sebab ungkapan “bermaafan” sudah cukup, sebab ungakapan bermaafan sudah mempunyai makna saling meminta maaf.
Dalam Bahasa Arab, ungkapan undangan maaf biasanya dinyatakan dengan pernyataan “afwan” yang artinya undangan maaf yang tulus dan ikhlas. Kalau kurang puas dengan kata “afwan” yang dinilai kurang panjang, maka bolehlah ditambah dengan “afwan zahin wal bathin”. Dalam hal maaf ini, perlu kita sadari bahwa ternyata memberi maaf mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan meminta maaf itu sendiri.
Berikut ini ada sebuah kisah yang penulis terima dari aktivitas pengajian di masjid sebagai berikut. Ketika Nabi sedang berdakwah, ada seseorang yang tiba terlambat dalam program dakwah itu. Pada dikala itu, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa seorang yang tiba terlambat itu dinyatakan justru sebagai penghuni surga. Kontan saja, banyak sahabat dan hadirin yang telah lebih dahulu tiba bertanya-tanyalah di dalam hati yang paling dalam wacana amalan apakah yang telah dilakukan orang tersebut sehingga dinyatakan sebagai penghuni surga.
Setelah dakwah selesai, bahkan ada beberapa orang yang kemudian mencoba mencari tahu atau melaksanakan semacam “investigasi” dengan menginap di rumah orang tersebut. Singkat kata, beberapa orang yang menginap di rumah calon penghuni nirwana tersebut ternyata tidak sanggup menemukan amalan yang dinilai patut menjadi indikator bahwa orang itu memang calon penghuni surga. Misalnya, orang itu ternyata tidak melaksanakan amalan shalat malam, tidak pula menjadi gemar memberi yang memperlihatkan hartanya untuk menyantuni fakir miskin dan belum dewasa yatim.
Singkat cerita, sesudah tidak menemukan satupun indikator sebagai penghuni surga, risikonya sesudah sekian hari melaksanakan pengamatan terhadap amalan sang penghuni nirwana tersebut, maka salah seorang pengamat terpaksa mengajukan pertanyaan wacana amalan apa yang selama ini telah menjadi amalan harian sang penghuni surga. Dari obrolan dengan calon penghuni nirwana itu, amalan yang secara istiqamah dia lakukan yaitu “memberikan maaf yang selalu dia ucapkan menjelang tidur”. Kisah ini memperlihatkan pelajaran kepada kita bahwa ternyata memberi maaf merupakan prestasi seseorang yang akan menjadi bekal utama sebagai penghuni surga. Bukan hanya meminta maaf kepada sesamanya.
Taqabbalallahu minna waminkum
Kalau demikian, apa ungkapan yang telah menjadi tuntunan Rasulullah semasa hidup beliau? Nabi Muhammad SAW ternyata telah memperlihatkan tuntunan supaya ketika tiba di bulan Ramadhan kita mengucapkan "taqabbalallahu minna waminkum", yang artinya "semoga Allah mendapatkan amalan saya dan kamu". Kemudian berdasarkan riwayat ucapan ini diberikan tambahkan oleh para sahabat dengan kata-kata "shiyamana wa shiyamakum", yang artinya puasaku dan puasamu. Dengan demikian secara lengkap kalimat tersebut menjadi "taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum" yang artinnya "semoga Allah mendapatkan amalan saya dan kamu, amalan puasa saya dan kamu".
Meski sudah ada tuntunan yang secara dari Nabi Muhammad SAW, belum serta merta tuntunan itu akan segera dipraktikkan oleh umat, sebab kebiasaan usang masih demikian melekat. Sebagai kepingan dari faset kebudayaan, maka akhlak kebiasaan yang telah menempel akan mengalami perubahan melalui proses internalisasi yang cukup lama, mulai dari pengenalan, pemahaman, pembiasaan, hingga dengan pengamalan. Dengan demikian, jikalau kebiasaan itu memang dinilai tidak rasional lagi dan yang paling penting yaitu sebab kurang atau bahkan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, maka tidak akan serta merta kebiasaan itu akan berganti. To make one understand is the most difficult. Mengapa? Karena menciptakan orang lain mengerti yaitu pekerjaan yang paling sulit.
Secara sedikit demi sedikit sampaumur ini sudah mulai banyak orang yang telah memakai ungkapan yang diberikan tuntunan oleh Rasulullah. Atau setidaknya telah mulai dipakai kedua-duanya, menyerupai yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab dalam program Ramadan. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa yang justru masih banyak lagi yaitu justru yang belum mengenal tuntunan Nabinya sendiri. Umat lebih suka memakai kebiasaan umum, yang sudah biasa digunakan, meski kebiasaan itu sama sekali tidak mempunyai landasan yang berpengaruh untuk digunakan.
Itulah kenyataannya. Itulah kondisi faktual pemahaman dan pengamalan agama Islam umat ini. Padahal tidak ada agama yang lebih tinggi selain Islam. Tetapi, sebab pengalaman agamanya lebih sebab kebiasaan belaka, tanpa pemahaman yang kuat, maka keimanan umat masih sangat jauh dari kuat. Kalaupun kuat, maka kekuatan keyakinan tersebut bahu-membahu merupakan kekuatan sementara yang sifatnya emosional belaka, bukan keyakinan yang dilandasi oleh pemahaman yang mendalam, termasuk pemahaman kita wacana Bahasa Arab, yang memang belum menjadi bahasa kedua kita.
Akhir Kata
Ada orang yang menyampaikan bahwa kiprah wali songo untuk mengislamkan seluruh umat, khususnya umat Islam, memang belum tuntas. Jika sepeninggal Nabi Muhammad SAW, para sahabat Nabi secara kultural mempunyai kiprah nubuwah meneruskan estafet Nabi Muhammad SAW, kemudian siapa yang harus meneruskan kiprah nubuwah itu sesudah sahabat meninggalkan kita? Jawaban yang niscaya akan kiprah kita semua, tanpa terkecuali. Mudah-mudahan amal kita selama bulan bulan pahala bernilai ibadah yang diterima Allah SWT, sehingga kita sanggup mencapai prestasi sebagai umat yang bertaqwa. Amin.
suparlan.com Berbagai Sumber