Transformasi Tadarrus Al-Qur’An Malam Hari Bulan Ramadhan; Tradisi Dari Jibril Hingga Anak Kecil - foldersoal.com
Wednesday, July 1, 2015
Edit
Transformasi Tadarrus al-Qur’an Malam Hari Bulan Ramadhan; Tradisi dari Jibril Sampai Anak Kecil_Sudah menjadi tradisi pada malam bulan Ramadhan masjid-masjid dan mushola diramaikan dengan aktifitas tadarrus al-Qur’an bersama. Al-Qur’an ialah kalamullah yang kita terima sebagai teks, bermacam-macam cara insan meresepsikan al-Qur’an, diantaranya resepsi sosial budaya dimana al-Qur’an berfungsi secara performatis menjadi sebuah tradisi. Pada bulan Ramadhan al-Qur’an tampil sebagai objek bacaan dalam tradisi tadarusan. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaiman tradisi itu muncul dan berkembang?, sebuah tradisi selalu melalui proses transformasi dari masa ke masa dan transmisi ilmu pengetahuan bersamaan dengan keyakinan kolektif masyarakat. Tadarrus al-Qur’an bukan hanya tradisi di Indonesia saja, tetapi tradisi yang berakar pada sunnah atau perbuatan Rasulullah SAW pada malam bulan Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَة
Selain al-Bukhari, An-Nasai ( 215-303 H/829-1915 M ) juga menyebutkan hadits ini dalam kitab sunannya, Ia memasukkan hadits ini dalam pecahan kemurahan hati dan kedermawanan di bulan Ramadhan.
Tidak jauh berbeda, al-Baihaqi (W 458 H) dalam Sunan al-Kubra li al-Baihaqi juga menyebut hadits ini dalam pecahan kedermawanan dan kemurahan hati di bulan Ramadhan. Pada periode pengumpulan hadits, ini dipahami sebagai dalil motivasi untuk gemar memberi dan murah hati di bulan Ramadhan dengan memperbanyak sodaqoh.
Selanjutnya dalam kitab-kitab fiqih, hadist ini sudah bertransformasi menjadi dalil untuk memperbanyak shadaqoh di bulan Ramadhan dan membaca al-Qur’an dengan cara mudarasah (tadarus).
As-Syarwani (W 1301 H/1814 M) menjelaskan, mudarasah ialah seseorang membacakan kepada yang lain dan sebaliknya, dan dalam Nihayah dan Mughni selain saling membacakan juga sesekali seorang membaca dan yang lain mengoreksi dan dilakukan secara bergantian. Beliau menguatkan, pada masanya mudarasah ini juga disebut idarah . Syaikh Nawawi dalam Nihayatuzzain menawarkan citra tatacara tadarus dan hukumnya:
Sebuah Kreasi Ekspresi
Tradisi semacam ini hingga hari ini masih rutin dilakukan setiap bulan Ramadhan, tadarus dilakukan juga dengan bacaan doa yang masyhur sehabis baca al Qur’an yaitu Allahumma irhamna bi al-Qur’an, selain bacaan doa ini, masyarakat di wilayah tertentu juga melafalkan bacaan-bacaan lain ketika hendak mencapai simpulan Juz dengan bacaan: “fasatadzkuruuna ma aquulu lakum waufawidu amrii ilallah innallaha bashirun bi al-ibad”. Al-Gafir:44 ini dibaca bahu-membahu ketika salah yaitu penerima yang membaca hendak mencapai ahir Juz. Berbeda ketika hendak mencapai ahir surah, para para mutadaaris ini membaca : “surah, tammat kalimaturabbika shidqan wa’adla la mubadila likalimatihi wahuwa as-sami’ul alim, (al-An’am:115) taqabal allahu minna wa minkum ya karim isyfa’ lana bi al-qur’an”.
Tidak hanya hendak mencapai ahir surah dan juz saja, ketika mendapati nama nabi, para mutadaris membaca: “alaihi salam! ya Allah shallaita an-nabi alaihi salam” sebagai verbal atas perlawanan, para mutadaris membaca bacaan yang berbeda ketika pembaca menemui kafir, muafiq, fir’aun dengan bacaan: “La’natullah 2x si kafir satrune Allah, wong kafir satrune Allah” ekspresi-ekspersi dengan bacaan ibarat ini menawarkan semangat dan motivasi tersendiri bagi mutadaris, terutama bagi bawah umur dan cukup umur yang secara psikologi mempunyai kecenderungan terhadap keramaian.
By: Rofik Maftuh
PAIH Kec.Kuwarasan Kab. Kebumen Berbagai Sumber
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَة
Artinya: Dari Ibnu Abbas radiyallahu a’nhuma, Ia berkata: bahwa Rasulullah SAW ialah orang yang paling pemurah, sedangkan ketika yang paling pemurah pada bulan Ramadhan ialah pada ketika malaikat Jibril menemui dia setiap malam pada bulan Ramadhan, kemudian mudarasah (tadarus) al-Qur’an, bagi Rasulullah ketika dikunjungi malaikat jibril lebih gemar memberi dengan kebaikan daripada tiupan angin yang berhembus. (HR Bukhori)Imam Bukhari dalam kitab shahihnya menyebutkan beberapa kali dan menempatkan hadits ini ke dalam beberapa bab, diantaranya pada pecahan permulaan turunnya wahyu, pecahan paling gemar memberi atau pemurah nabi ketika Jibril menemuinya di bulan Ramadhan, dan pecahan sifat nabi, artinya pada ketika itu imam bukhori belum melihatnya dari sisi praktik mudarasah bersama. Pada tahap ini al-Qur’an dibaca oleh nabi dengan cara mudarasah dengan jibril, mudarasah berarti saling membaca dan menyimak.
Selain al-Bukhari, An-Nasai ( 215-303 H/829-1915 M ) juga menyebutkan hadits ini dalam kitab sunannya, Ia memasukkan hadits ini dalam pecahan kemurahan hati dan kedermawanan di bulan Ramadhan.
Tidak jauh berbeda, al-Baihaqi (W 458 H) dalam Sunan al-Kubra li al-Baihaqi juga menyebut hadits ini dalam pecahan kedermawanan dan kemurahan hati di bulan Ramadhan. Pada periode pengumpulan hadits, ini dipahami sebagai dalil motivasi untuk gemar memberi dan murah hati di bulan Ramadhan dengan memperbanyak sodaqoh.
Selanjutnya dalam kitab-kitab fiqih, hadist ini sudah bertransformasi menjadi dalil untuk memperbanyak shadaqoh di bulan Ramadhan dan membaca al-Qur’an dengan cara mudarasah (tadarus).
As-Syarwani (W 1301 H/1814 M) menjelaskan, mudarasah ialah seseorang membacakan kepada yang lain dan sebaliknya, dan dalam Nihayah dan Mughni selain saling membacakan juga sesekali seorang membaca dan yang lain mengoreksi dan dilakukan secara bergantian. Beliau menguatkan, pada masanya mudarasah ini juga disebut idarah . Syaikh Nawawi dalam Nihayatuzzain menawarkan citra tatacara tadarus dan hukumnya:
“Termasuk membaca al-Qur’an (pada malam ramadhan) ialah mudarasah (tadarus), yang sering disebut pula idarah,yakni seseorang membaca pada oranng lain (yang ibarat ini tetap sunnah)sekalipun apa yang dibaca orang tersebut tidak ibarat yang dibaca orang pertama (Nihayatuzzain 194-195)”Beliau menyisipkan keterangan di atas pada pecahan puasa. Ada istilah gres yang sama dengan redaksi pada keterangan As-Syarwani, yang pada masa-masa sebelumnya belum ada, yaitu “idarah” dengan istilah ini berarti kegiatan tadarrus al-Qur’an tidak dilakukan hanya dua pihak saja ibarat Rasulullah dan Jibril, tetapi melibatkan beberapa orang dengan sistem bergilir, ketika satu diantaranya membaca yang lainya menyimak.
Sebuah Kreasi Ekspresi
Tradisi semacam ini hingga hari ini masih rutin dilakukan setiap bulan Ramadhan, tadarus dilakukan juga dengan bacaan doa yang masyhur sehabis baca al Qur’an yaitu Allahumma irhamna bi al-Qur’an, selain bacaan doa ini, masyarakat di wilayah tertentu juga melafalkan bacaan-bacaan lain ketika hendak mencapai simpulan Juz dengan bacaan: “fasatadzkuruuna ma aquulu lakum waufawidu amrii ilallah innallaha bashirun bi al-ibad”. Al-Gafir:44 ini dibaca bahu-membahu ketika salah yaitu penerima yang membaca hendak mencapai ahir Juz. Berbeda ketika hendak mencapai ahir surah, para para mutadaaris ini membaca : “surah, tammat kalimaturabbika shidqan wa’adla la mubadila likalimatihi wahuwa as-sami’ul alim, (al-An’am:115) taqabal allahu minna wa minkum ya karim isyfa’ lana bi al-qur’an”.
Tidak hanya hendak mencapai ahir surah dan juz saja, ketika mendapati nama nabi, para mutadaris membaca: “alaihi salam! ya Allah shallaita an-nabi alaihi salam” sebagai verbal atas perlawanan, para mutadaris membaca bacaan yang berbeda ketika pembaca menemui kafir, muafiq, fir’aun dengan bacaan: “La’natullah 2x si kafir satrune Allah, wong kafir satrune Allah” ekspresi-ekspersi dengan bacaan ibarat ini menawarkan semangat dan motivasi tersendiri bagi mutadaris, terutama bagi bawah umur dan cukup umur yang secara psikologi mempunyai kecenderungan terhadap keramaian.
By: Rofik Maftuh
PAIH Kec.Kuwarasan Kab. Kebumen Berbagai Sumber